
Tim peneliti menemukan bahwa bayi yang berisiko tinggi autisme akan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk mencari dan terlibat dengan pengasuhnya. Bayi akan lebih fokus pada rangsangan non-sosial (mainan musik atau joystick). Hal ini menunjukkan adanya gangguan dalam pertumbuhan yang terkait dengan perhatian si bayi. Dalam perkembangannya, kondisi ini akan berkembang menjadi autisme. Dan sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan bayi, akan terlihat tanda-tanda autisme lainnya. ?Studi ini menunjukkan bahwa kelemahan tertentu pada anak, khususnya autisme, sudah bisa dideteksi sejak anak berusia enam bulan (saat interaksi harusnya sudah terjadi),? ujar Dr Rebecca Landa, pemimpinstudi, seperti dilansir dari TopNews.
Menurut Dr Landa, bayi autisme biasanya tidak berinteraksi sosial atau bergerak sendiri. Tetapi bayi autisme ini terkadang masih bisa merespons bila ibu atau pengasuhnya memberikan rangsangan, sehingga perbedaan halus ini dapat dengan mudah diabaikan oleh beberapa orangtua. Namun, penelitian ini tidak menunjukkan bukti adanya gangguan belajar pada bayi berisiko tinggi autisme. ?Baik bayi autisme ataupun tidak, keduanya mempelajari tugas multi-stimulus dengan tingkat yang sama,? tambah Dr Landa.
Temuan ini menunjukkan bahwa seperti halnya anak autis yang lebih tua, bayi yang berisiko tinggi autisme masih dapat mengambil manfaatdari kuantitas pembelajaran atau rangsangan yang diberikan, sehingga menyebabkan efek sederhana dan memberi kesempatan untuk membantu perkembangannya. Bila sejak dini sudah diketahui bahwa bayi berisiko tinggi autisme, orangtua sebaiknya sering memberi rangsangan, baik secara sosial (interaksi dengan orangtua) atau non-sosial (menggunakan mainan). Hal ini bisa mengurangi risiko bayi mengembangkan autisme. Untuk menindaklanjuti studi, temuan ini akan segera diterbitkan pada Center for Autism and Related Disorders di Kennedy Krieger Institute.
0 komentar
Posting Komentar